0x001
kau datang [se]bagai pemandangan laut. ratusan tahun yang lalu, puluhan kapal: bertarung dengan besi, demi jelajah, kuasa langit, dan rempah-rempah. kedatanganmu mengulangnya, dengan matahari di wajahmu, lafal asing dari bibir, dan butir permata di kakimu. lihatlah daratan itu, ribuan tahun bagai gadis berbaring: beringsut menyambut, senyummu. laut bermula dari air langit, dan langit terbentang dari puisi. laut memberiku puisi, berupa kedatanganmu.
0x002
selepas pulang, kata berkejar, mencapai fajar. sebelum tidur, tiga lagu menghibur. duka lelah terkubur. nanti[kan] mimpi mempertemukan ramalan ke sekian, tentang cinta semerah marah, rindu meredam dendam dan gairah, bercerita tentang tatapan menggurita, peluk dan ringkuk lelah, membuka segala resah. tidurlah, selagi masih bertaut janji, lelah masihlah betah: memisah nyata, dari imaji. pasti akan [ber]tahan menghadapi. desis liar suara luar, anggaplah kedap sudah. selepas tidur sebelum pergi, jangan biarkan aku cemburu pada diriku sendiri. sebab setiap bertemu denganmu, kau selalu tawarkan seribu perempuan dalam diri-utuhmu
0x003
aku bukan mimpi, yang tak selalu setia mengiring tidur. aku bukan bayangan, sekalipun ia menuruti tubuh ke mana saja. aku mau diriku sekarang, di mana lipatan-lipatan luka menjadi ruang bagi cahaya matahari, dan membuatmu terus bertanya, "mengapa kau mencintaiku? mengapa kau terus mengecewakanku?". jika perasaan ini selalu kembali padamu, aku[i]lah bukti-Hidup-Nya.
0x004
di depanmu aku bosan-kata. tanya tersusun, kata tak kuasa. aku mau belah sepi, memecah tawa di perjamuan, sebab aku bosan segala kata[nya]. biar[pun] semakin malam, bulan menebar selimut. sengketa terbakar di dinding kamar berputar. setiap ratap, hanya dengan menatapmu. sisakan mata bertaut, desah saling-sahut, dan peluk berebut. dalam tidur-jagaku, satu demi satu, aku terus akan mencintaimu.
0x005
langit sedang terbuka, sepasang doa menyambutnya. kota masih hitam, jalanan tergenang sebagian. dalam pejam sesaat aku mengenang usap di [se]tengah gelap. waktu itu, jantung kita berdekatan, rasa cemas berdekapan. tentang jumpa dan rencana berdua. biarlah aku seka bening alir, di sepasang mata hening itu. aku menunggu wangi tu[m]buh di laut, dengan debur biru, lanskap merah coklat, dan sepasang coca-cola. aku menanti dingin, menanti potret disimpan, sebagian diedarkan. pintu-pintu tertutup, langit masih gerimis. ponsel menyala, mengedarkan hangat. jika batu langit telah sampai menghitung waktu, katakan kapan aku bisa mendatangimu. lantas, dengan alasan apalagi aku tak merindukanmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar